Kamis, 21 Januari 2010

Sinematografi Korea: Mengejar Kesuksesan Hollywood

Sinematografi Korea mungkin masih dianggap terlalu muda jika dibandingkan dengan Hollywood yang menjadi pionir dalam industri film. Tetapi keunggulan industri film tidak hanya ditentukan oleh lamanya pengalaman namun juga kreatifitas para sinematograf. Sebagai negara yang telah maju di bidang perekonomian, apresiasi terhadap seni film yang dilakukan para aktor di depan maupun di belakang layar lebar tentulah berpengaruh positif terhadap kesuksesan dunia perfilman Korea. Apresiasi terhadap profesionalitas kerja yang dilakukan para tokoh seni tersebut tentulah dengan memproduksi sinema-sinema berkualitas dan berkelas dunia. Jika dicermati, para kreator dapat maksimal berkreatifitas jika didukung oleh suasana politik dan ekonomi yang stabil. Dengan melihat perkembangan sinematografi, kita dapat melihat bahwa perfilman Korea secara bertahap mengejar kesuksesan dunia perfilman Hollywood.

Membicarakan perkembangan film, tentunya terelasi dengan sejarah lahirnya film di Korea hingga kesuksesannya sejauh ini. Munculnya film pertama kali di Korean sekitar tahun 1923, saat Korea berada dalam kungkungan pemerintah Jepang. Karena isinya mengkritik kekejaman polisi Jepang, pemerintah segera memberlakukan sensor ketat demi kepentingan politiknya. Setelah berakhirnya pemerintahan Jepang pada 1945, industri perfilman kolaps karena adanya perang saudara yang akhirnya memisahkan Korea menjadi dua bagian; utara dan selatan. Baru tahun 1955 dunia layar lebar mulai bangkit dan berjaya selama 15 tahun.
Ketatnya sensor yang diberlakukan, kembali membunuh insan perfilman. Di era 1980an, konstitusi baru yang memberikan angin segar terhadap dunia film. Sedikit demi sedikit pemberlakuan sensor dihapus. Pelarangan impor film-film barat juga dicabut, tapi hal tersebut menyebabkan film-film domestik kehilangan pasar. Selanjutnya beberapa perusahaan raksasa atau istilah Koreanya, chaebol, turut terjun dalam bisnis perfilman sebagai penyandang dana sekaligus rumah produksi. Tahun 1996 ditandai dengan lahirnya sutradara-sutradara inovatif yang menyuguhkan sinema-sinema ber-genre baru. Hal tersebut mampu menarik kembali minat penonton menyerbu film-film dalam negeri.
Melihat perkembangan blantika perfilman Korea diatas, kejayaan film tidak lepas dari kebijakan positif pemerintah dibidang sensor. Tak dapat dipungkiri, ketatnya kontrol pemerintah terhadap film dapat membunuh kreatifitas para pembuat film. Beberapa dasawarsa yang lalu, Korea terkenal sebagai negara yang paling ketat dalam memberlakukan sensor. Pada tahun 1973, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Perfilman tentang double censor, yang berarti semua film harus melewati dua kali penyuntingan; pra-produksi dan pasca-produksi. Jika diketahui isi film berbeda dengan proposal yang diajukan kepada pemerintah, maka film tersebut mendapat label cekal. Sehingga ketika Undang-Undang Perfilman segera direvisi pada tahun 1985, semangat pencipta-pencipta seni dalam berkreasi kembali bangkit.
Dibukanya kebebasan berkreatifitas mengundang para pembuat film untuk tidak ragu mengangkat polemik politik sebagai tema film mereka. Salah satunya adalah Simildo (2003), film unggulan karya sutradara berpengalaman, Kang Woo-seok. Kang pernah menyatakan bahwa film hasil garapannya hanyalah film berbasis entartainment biasa, dia tak pernah bermaksud menyinggung masalah-masalah sosial. Kenyataannya, Simildo merupakan film yang tidak secara sengaja mengambil latar belakang politik dan berhasil memuaskan animo penonton terhadap sinema lokal. Film ini diangkat berdasarkan peristiwa nyata di Semenanjung Korea tahun 1971 pada masa perang dingin antara dua Korea yang bertikai. Film yang terang-terangan mengungkap sejarah yang terkebiri ini merupakan sebuah refleksi nyata kemajuan demokrasi di Korea Utara. Jika Kang merilis film sejenis pada 30 dasawarsa yang lalu, pasti film tersebut dan dicekal dan dia ditahan. Keberanian Kang mempublikasikan polemik yang terjadi diantara Korea Selatan dan Korea Utara berhasil memenangkan penghargaan Nobel Perdamaian dari Presiden Kin Dae Jung pada tahun 2000.
Selain dukungan pemerintah, menguatnya bisnis perfilman Korea juga dipengaruhi kesuksesan dibidang bisnis dan stabilitas perekonomian. Di penghujung 1980an, perindustrian film terpuruk akibat kalah bersaing dengan produksi-produksi Hollywood. Salah satu anggota chaebol ikut bergabung mengelola industri film dan memberi dukungan finansial serta mengatur tentang produksi, ekshibisi, distribusi sebuah film. Marriage Story (1992) yang disutradai oleh Kim Ui-seok merupakan film pertama yang pengerjaannya di bawah Samsung.
Kebesaran industri film sangat tergantung pada kreatifitas dan kontinuitas para pencipta film dalam berkarya. Dalam hal ini Korea memiliki banyak sutradara berbakat yang terus menerus memperkokoh panggung layar lebar. Adalah Im Kwong Taek sebagai salah satu sutradara yang antusias memajukan sinematografi Korea. Segera setelah menyadari mutu film-film produksinya hanya berorientasi pada komersialisme dengan mutu jauh dibawah sinema-sinema barat, Im mulai memproduksi film yang lebih berorientasi pada seni. Dia mencoba berkreasi dan menggali kembali elemen tradisional dan budaya Korea yang terlupakan, sehingga terciptalah film Mandala (1981). Karya spektakulernya Sopyonje (1993) mampu membangunkan kembali nilai seni sinematografi Korea. Sebuah film ber-genre popular baru Marriage Story (1992) karya Kim Ui-seok mendapat sambutan meriah dengan menyajikan film komedi perang dan romanisme. Film yang mulai berani menyentuh dunia politik sebagai bentuk kebebasan berekspresi disuguhkan Park Kwang-soo dalam Chilsu and Mansu (1988) dan Kang Woo-seok dengan Simildo (2003). Dari tangan-tangan dingin merekalah lahir film-film yang mampu menggerakkan mata dunia menyaksikan film-film Asia yang berstandar internasional.
Usaha para pendahulu menekuni profesionalitas seorang sineas, telah mendorong lahirnya sineas-sineas muda yang lebih kreatif dalam berkarya. Diakhir millenium kedua, ada banyak sutradara baru yang tertarik memulai debutnya dengan memproduksi film-film komersial. The Contact (1997) hasil karya Chang Yoon-hyun berhasil menembus box-office Korea. Disusul kemudian keberhasilan Kang Je-gyu dalam Shiri (1999) dan Park Chan-wook dalam Joint Security Area (2000). Salah seorang sutradara yang lebih kontroversial, Kim Ki-duk, berani melakukan membuat film dengan metode penggarapan baru, kasar tetapi secara visual menarik ditonton. Filmnya, The Isle (2000) mampu memenangkan penghargaan internasional meskipun kemudian menuai protes kritikus dalam negeri.
Berkat kontinuitas para kreator seni film serta dukungan pemerintah dan dunia ekonomi, sejak 1999 dunia perfilman Korea berhasil mengalahkan pangsa pasar film-film Hollywood yang mendominasi bioskop Korea. Geliat perfilman Korea yang telah mampu menundukkan pasar domestik juga telah melebarkan sayap ke wilayah regional dan juga internasional. Dengan menyublimasi kendala bahasa, bukan tidak mungkin jika perfilman Korea akan mampu bersaing dengan Hollywood dalam menginvasi bioskop-bioskop dunia. (*)
Penulis: Lutfi Fadila, anggota FPKM – Forum Penulis Kota Malang.
klipingfpkm.multiply.com

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda